Senin, 30 Mei 2011

Gerakan Muslim ''Kos-kosan''

SETELAH 13 tahun reformasi, bangsa ini memiliki musuh dalam selimut, antara lain bahaya tersembunyi dalam bentuk gagasan, usaha, dan aksi-aksi kekerasan yang salah satu tujuannya untuk mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi negara Islam (khilafah Islamiyah).

Kebebasan setelah runtuhnya rezim Orba dimanfaatkan oleh gerakan Islam bercorak Wahabi/ Ikhwanul Muslimin tampil ke publik. Mereka mengepakkan sayap melalui berbagai macam ormas hingga jadi politikus. Keran demokrasi yang telah dibuka mempercepat gerakan mereka seribu langkah ke depan, mengepung istana hingga menyusup ke desa-desa. Organisasi keagamaan NU dan Muhammadiyah juga tak luput dari penyusupan oleh kelompok ini.  

Di antara mereka seringkali tampil terang-terangan di jalanan sehingga fundamentalnya mudah dibaca khalayak. Identitas dan simbol yang mereka pakai sama persis dengan Islam di Timur Tengah. Perilaku mereka, seperti gampang mengafirkan orang, arogan, senang aksi kekerasan, menganggap sesat kelompok Islam lain dan tak mengakui keberadaan agama lain di negeri ini, mirip dengan gerakan Wahabi di jazirah Arab.

Islam fundamental yang mereka usung berbeda bendera, tak sama strateginya, tapi setidaknya ada kesamaan pencapaian, yakni negara Islam. Gerakan mereka ada yang menggunakan jalur diplomatik, tapi ujung-ujungnya adalah bagaimana membenamkan Pancasila dan UUD 45.

Mereka seperti bermuka dua, di hadapan publik mengakui dua dasar negara itu dan menjunjung tinggi NKRI, tapi di hadapan kelompoknya sendiri dasar negara sudah dianggap piagam kuno yang usang, tak mengakui beragaman dan keberagamaan. Dalam artian, ideologi mereka bukan lagi Pancasila melainkan menggunakan Islam sebagai ideologi.
Di antara yang mungkin paling fundamental adalah kelompok yang melakukan aksi teror bom. Gembong teroris Dr Azahari dan Noordin M Top bukan orang Indonesia. Mereka kebetulan muslim yang ”kos” di negara ini. Namanya saja pendatang jadi tak ada beban membuat ulah di negara lain.

Keberadaan muslim kos-kosan ini banyak memengaruhi sebagian generasi bangsa ini yang kemudian menjadi kaki tangannya. Entah berapa kelompok yang dihasilkan oleh jaringan mereka, yang jelas keberadaan mereka tetap eksis hingga kini.          

Puluhan abad Islam dianut di Nusantara ini, lebih menekankan pada toleransi dan menjunjung tinggi kearifan lokal. Di antara pendiri bangsa ini juga orang Islam, salah satunya KH Wahid Hasyim, putra dari pendiri NU KH Hasyim As’yari, dengan lapang dada dan berani mengakui adanya agama-agama lain selain Islam dianut oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air.

Kearifan Lokal

Para ulama juga telah sepakat bahwa Indonesia adalah darussalam (negeri yang damai). Indonesia bukan negara sekuler bukan juga negara agama melainkan negara beragama. Siapapun berhak tinggal di negeri ini asalkan tetap berpegang pada Pancasila dan UUD 1945. 

Sebagian generasi muda telah terkontaminasi gerakan fundamental, mereka kuliah di Timur Tengah yang kebetulan mendapatkan sponsor beasiswa dari kelompok Wahabi, setelah kembali ke Tanah Air mereka mengusung gerakan yang sama seperti negara-negara jazirah Arab sana. Dahulu para kiai, seperti KH Dalhar Watucongol, juga belajar di Timur Tengah, ketika pulang ke Tanah Air tetap menjunjung tingi kearifan lokal.

Guru bangsa KH Abdurahman Wahid juga mengenyam pendidikan di Kairo, Mesir dan Bagdad Irak, ketika pulang ke Tanah Air justru menjadi pejuang humanisme. Ajaran Islam yang didapat di sana, tak di-copy-paste begitu saja oleh Gus Dur. Islam dan kearifan lokal diramu untuk sebuah misi perdamaian dunia. 

Sebenarnya, gerakan politik Wahabi bertentangan dengan semangat Islam sendiri. Tabiatnya yang keras, suka memvonis musyrik, kafir, dan murtad terhadap sesama muslim, serta aksi-aksi destruktif yang gemar mereka peragakan adalah bukti bahwa mereka telah melancarkan serangan terhadap keutuhan bangsa. Kegemaran mengkafirkan sesama muslim jelas bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW,” Siapa pun yang menuduh saudaranya yang muslim sebagai kafir, dia sendiri adalah kafir.”

Dasar negara Pancasila dan UUD 1945 adalah adalah harga mati, jika memilih hidup di Indonesia harus menghormati NKRI. Seluruh stakeholder bangsa ini harus bersama-sama berada di barisan terdepan membentengi keutuhan bangsa ini. Melakukan penyadaran masyarakat, bahwa gerakan fundamental yang diusung muslim kos-kosan menjadi bahaya laten negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar