Senin, 30 Mei 2011

Kisruh Kongres PSSI

Terbit pada 30 Mei 2011 pukul 20:00 WIB
Ilustrasi

MEMALUKAN! Kalimat singkat inilah yang terdengar saat penonton siaran televisi menyaksikan jalannya Kongres Pemilihan Ketua Umum PSSI 2011-2015 di Hotel Sultan, Jakarta, 20 Mei 2011 yang hasilnya gagal. Tidak hanya gagal, tapi kisruh dan tidak seperti kongresnya orang-orang yang punya sportifitas yang tinggi.
Kisruhnya kongres untuk menentukan Ketua Umum persepakbolaan nasional ini, sangat dan sangat mengundang tanya yang cukup besar. Ada apa sebenarnya di tubuh wadah persepakbolaan tersebut sehingga pemilihan ketuanya harus sedemikian rupa jeleknya.
Senadainya ada anggota masyarakat yang mengajukan pertanyaan seperti ini; Sebenarnya apa saja yang diperebutkan dan apa saja yang didapat ketua umum dan sekjen jika sekiranya kursi tersebut berhasil diduduki, ada endak yang berani memberi jawaban dengan bahasa terang. Jabatan ketua umum PSSI itu kalau tidak salah, kan untuk memajukan persepakbolaan di tanah air dan di dunia internasional. Artinya cukup berat bukan?
Nah, kalau dia sadar bahwa jabatan itu taruhannya berat kenapa dong cara rebutannya harus sedemikian parah. Atau jangan-jangan ada sesuatu yang lebih indah di balik taruhan yang teramat berat itu.
Namun sebagai catatan saja, di Indonesia selama ini, khususnya dunia olahraga sepakbola, yang terkenal hanyalah pengurusnya. Beda dengan wadah persepakbolaan di luar negeri, hampir tidak pernah kita tahu siapa-siapa saja pengurus wadah mereka. Tapi nama-nama pemain mereka, sampai anak kecil di Indonesia pun tahu dan hafal benar nama dan nomor punggungnya.
Saking terkenalnya, industri kaos di dalam negeri selalu panen jika ada pertandingan bola dunia dengan cara mencetak kaos dengan nama pemain internasional lengkap dengan nomor punggung. Di Indonesia, entar dulu. Jangankan cetak kaos, menyebut nama pemain bola pun paling orang-orang terdekat saja. Kalau masyarakat umum, bisa dipastikan tidak tahu nama-nama pemain nasionalnya.
Sangat memprihatinkan memang. Tapi itulah yang terjadi di tanah air kita tercinta ini. Nama pengurus melambung tinggi sementara nama pemainnya tenggelam. Lalu siapa yang salah atau perlukah dicari siapa yang bersalah?
Kalaulah petinggi-petinggi atau pemain politik negeri ini mau menahan diri agar tidak perlu memasuki dunia sepakbola, rasanya, kondisi akan beda. Kekisruhan tidak akan terjadi dan nama PSSI pun akan bisa melambung.
Tapi apa boleh buat. Sesuatu itu jika ditangani dengan intrik-intrik politik, hasilnya pasti seperti yang kita rasakan. Tidak hanya di bidang olahraga, ekonomi dan hukum pun, jika ada di dalamnya intervensi politik, pasti hasilnya hanya memuaskan kelompok tertentu saja. Maka itu, bicara bola serahkanlah kepada para pemain bola, bicara hukum serahkan kepada para petinggi hukum dan yang lainnya serahkan saja ke bidang masing-masing. Biarkanlah bola diurus orang-orang bola dan jangan diserahkan kepada para akrobat politik. Hasilnya? Pasti mengecewakan.
Seperti apa yang pernah diutarakan Ketua Umum Pengcab PSSI Kabupaten Malang Rendra Kresna. Ketua Umum mendatang harus orang yang benar-benar mengerti bola, punya waktu dan bisa menghidupkan kesekretariatan PSSI. Mengerti di sini bukan hanya tahu bagaimana teknik dan taktik sepak bola saja, tapi juga aturan persepakbolaan nasional di bawah kendali PSSI dan internasional di bawah kendali FIFA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar