Senin, 30 Mei 2011

Mengurai Kisruh (Kongres) PSSI

Jakarta - Bangsa yang pelupa. Itulah julukan yang selama ini kita sandang, karena begitu mudahnya dan begitu seringnya kita melupakan kasus-kasus yang terjadi di depan kita ketika ada kasus lain muncul, sehingga tidak jarang kasus yang muncul belakangan dicurigai sebagai sebuah rekayasa untuk menutupi kasus yang sedang hangat dibicarakan.

Kini, hal itu kembali terjadi, yaitu pada kasus kisruhnya Kongres PSSI yang berlangsung pada 20 Mei 2011. Ketika kongres akhirnya ricuh dan ditutup sepihak oleh ketua Komite Normalisasi (KN) Agum Gumelar, pengamat bola, masyarakat pecinta bola ramai-ramai menuduh Kelompok 78 sebagai biang keladi kekisruhan. Kalaupun masih ada yang bepikir jernih, tapi sepertinya tidak banyak.

Bangsa yang pelupa memang layak kita sandang. "Hanya" karena kongres PSSI yang sudah diprediksi bakal ricuh akhirnya benar-benar ricuh, begitu mudah kita melupakan apa yang sebenarnya menjadi penyebab kericuhan itu. Seakan-akan apa yang terjadi di gelaran Kongres PSSI itu adalah peristiwa yang berdiri sendiri dan terjadi begitu tiba-tiba tanpa ada sebab musabab sebelumnya.

Untuk mengingatkan kembali, apa yang terjadi dalam Kongres PSSI yang lalu adalah titik kulminasi dari seluruh perseteruan yang terjadi sebelumnya. Saya akan memaparkan 5 hal yang layak untuk kita renungkan bersama, yaitu : kedudukan Komite Normalisasi (KN) dan Komite Banding (KB), keputusan CAS, agenda kongres, alasan pelarangan George Toisutta dan Arifin Panigoro (GT-AP), serta entitas Kelompok 78.

Komite Normalisasi (KN) dan Komite Banding (KB)

Pada pertemuan antara KN dengan pemilik suara sah PSSI di Hotel Sultan pada 14 April 2011, diputuskan bahwa pertemuan itu menjadi Kongres Pemilihan dan membentuk pula Komite Pemilihan dan Komite Banding. Agum kemudian melaporkan itu ke FIFA, tapi FIFA hanya menyetujui Komite Banding, karena Komite Pemilihan sudah dinyatakan otomatis dijalankan oleh Komite Normalisasi. Artinya, pembentukan KB adalah sesuai dengan aturan yang ada, karena FIFA menyetujuinya.

Menjadi pertanyaan kemudian adalah, bagaimana sebenarnya kedudukan KB dan KN karena tidak ada dalam aturan resminya. Apakah KN lebih tinggi atau KB yang lebih tinggi. Sulit untuk menjawabnya karena aturannya memang tidak ada.

Tetapi yang terjadi adalah bahwa KB menjadi sub-ordinat dari KN. Ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa hasil yang dibuat oleh KB, yang salah satunya adalah meloloskan GT-AP untuk menjadi calon ketua umum dan wakil ketua umum dimentahkan oleh KN. Alasan KN, FIFA telah melarang keduanya untuk mencalonkan diri, dan oleh karena itu pencalonannya tak bisa diproses.

Keputusan KN yang menganulir keputusan KB diprotes oleh sebagian besar pemilik suara sah PSSI yang kita kenal dengan istilah Kelompok 78 (K-78). Seharusnya, sebelum kongres KN, dalam hal ini Agum Gumelar, menyelesaikan dulu sengketa ini. Tetapi yang terjadi adalah Agum tetap berjalan tanpa menghiraukan adanya sengketa ini.

Siapapun juga tidak boleh menganggap bahwa sengketa ini sudah selesai ketika persiapan kongres sudah selesai dan tinggal menunggu hari H. Terlalu naïf jika menganggap sengketa ini hanya riak kecil yang bisa diabaikan. KN berani mengabaikan keputusan karena KN selalu berpegang teguh pada surat FIFA yang mem-blacklist GT-AP.

Meskipun K-78 terus melakukan protes, KN tetap bergeming dan terus berjalan dengan menganggap bahwa persoalan itu tidak pernah ada. Satu dari penyebab tragedi sudah tercipta, dan KN menganggapnya sebagai angin lalu.

Keputusan CAS

Karena protesnya tidak digubris oleh KN/Agum, maka K-78 melayangkan gugatan ke CAS (Court Arbritage of Sport). Waktu sudah berjalan terus dan hari H diambang fajar.

Karena waktu yang sudah demikian sempit, CAS ternyata hanya mengeluarkan putusan sela yang salah satu isinya adalah "tidak berwenang mengadili sengketa antara GT-AP dengan FIFA". Hal ini bisa dipahami karena memang tidak ada hubungan langsung maupun tidak langsung antara FIFA dan GT-AP dalam seluruh struktur organisasi di bawah FIFA. Yang menjadi anggota FIFA adalah PSSI dan GT-AP bukan anggota PSSI. Jadi wajar kalau CAS merasa tidak berwenang untuk mengadili gugatan GT-AP.

Seandainya yang bersengkata adalah PSSI dengan FIFA maka akan diadili. Atau yang bersengketa antara PSSI dengan Persija atau anggota PSSI yang lain, maka CAS akan mengadili. Atau kalau yang bersengketa adalah antara pemain di bawah kompetisi PSSI dengan FIFA, maka CAS akan mengadili.

Yang mengherankan kemudian adalah "tidak berwenang mengadili" ini diterjemahkan sebagai penolakan. Ini yang salah. Tidak ada dalam kamus apapun yang akan menyamakan penolakan dengan tidak berwenang mengadili. Terlalu naif jika kita menyamakan kedua terminologi tersebut. Tidak berwenang mengadili harus diterjemahkan sebagai apa yang disengketakan tetap dianggap sebagai sengketa yang belum ada penyelesaiannya.

Lalu ke mana sengketa ini harus diselesaikan. Sulit untuk menjawabkan karena waktu yang sudah demikian sempit. Karena CAS tidak berwenang mengadili, seharusnya sengketa bisa dibawa ke pengadilan umum atau pengadilan HAM. Tetapi pertanyaannya mungkinkah akan dikeluarkan hasil dalam hitungan hari. Jawabnya mustahil. Lalu pertanyaannya, harus dibawa ke mana sengketa ini. Kalau merujuk pada sebuah organisasi, seharusnya kasus ini dibawa ke kongres, karena kongres adalah forum tertinggi yang ada dalam struktur organisasi termasuk PSSI.

Ini sebenarnya yang harus dikiritisi oleh masyarakat yang peduli kepada sepakbola di tanah air. Jangan karena FIFA menugaskan kepada KN untuk melakukan pemilihan pengurus dan Komite Eksekutif PSSI lantas membonsai arti kongres. Apapun yang namanya kongres adalah kongres seperti yang ada dalam aturan organisasi PSSI. Kalau mau melakukan kongres dengan arti yang lain, ya diubah dulu Statuta PSSI-nya. Karena sampai saat kongres dilaksanakan, yang ada dalam statuta PSSI hanya diatur kongres dan Kongres Luar Biasa. Di luar itu tidak ada. Aturan yang demikian seharusnya dipahami oleh semua orang yang merasa peduli terhadap PSSI dan persepakbolaan nasional. Jangan karena ada perintah FIFA lalu Statuta PSSI yang masih berlaku ditabrak begitu saja.

Agenda Kongres PSSI

Kongres ini diadakan oleh Komite Normalisasi yang dibentuk oleh FIFA. Karena namanya adalah Komite Normalisasi berarti ada situasi yang tidak normal. Dan seluruh masyarakat pengamat dan pecinta bola di tanah air mengamini kondisi yang tidak normal ini setelah Kongres PSSI di Pekanbaru yang gagal terselenggara.

Kalau KN memang sadar bahwa situasi memang tidak normal, kenapa agenda yang dibuat adalah seolah-olah kondisi dan situasinya normal normal saja. Tidak ada ruang untuk berbeda. Tidak ada ruang untuk mempertanyakan yang selama ini menjadi silang pendapat.

Agenda tersusun demikian karena kepercayaan diri KN yang kelewat tinggi. Mereka benar-benar sudah tidak mau lagi melihat bahwa masih tersisa sengketa yang sangat substansial, yaitu bagaimana sebenarnya kedudukan antara KN dan KB yang sama-sama diakui oleh FIFA. KN dibentuk oleh FIFA dan KB dibentuk oleh kongres 14 April 2011 yang diakui FIFA. Sebuah kepercayaan diri yang berlebihan dengan menganggap KN memposisikan diri lebih tinggi sehingga bisa membatalkan keputusan KB.

Seharusnya KN mampu membuka mata dan membuka hati bahwa ada masalah fundamental yang akan berakibat fatal dalam kongres. KN hanya menyandarkan pada tenggat waktu 21 Mei 2011 yang diberikan oleh FIFA untuk melakukan pemilihan Ketua Umum dan wakil serta Komite Ekskutif PSSI. Selalu didengung-dengungkan bahwa kalau tenggat waktu dilanggar maka PSSI akan terkena sangsi.

Cara-cara ini persis seperti apa yang dilakukan oleh pengurus PSSI di bawah komando Nurdin Halid, khususnya pasca gagalnya Kongres PSSI di Pekanbaru. Selalu dinyanyikan dengan nyaring sanksi dan sanksi FIFA. Apa yang terjadi setelah tragedi Pekanbaru? FIFA tidak menjatuhkan sangsi melainkan FIFA membentuk KN.

Seharusnya hal ini menjadi pembelajaran bersama bahwa ternyata FIFA tidak semudah membalik telapak tangan untuk menjatuhkan sangsi. FIFA tentu juga akan menjaga martabatnya, karena kalau salah langkah bisa digugat ke CAS. Dengan alasan yang demikian, seharusnya KN terus melakukan komunikasi yang intensif memberikan informasi yang fair dan jujur kepada FIFA. Kita semua harus ingat bahwa fair play bukan hanya ada di dalam lapangan pertandingan sepakbola, tetapi juga harus menjadi semangat dalam mengelola organisasi Sepakbola.

Kembali ke agenda kongres yang hanya mencantumkan masalah pemilihan ketua umum, wakil ketua umum, dan Exco dan memberi ruang gerak untuk munculnya usulan yang lain, sungguh sebuah tindakan yang menabrak tata aturan organisasi bahwa kongres adalah forum tertinggi dalam seluruh hirarki organisasi. Jadi, kalau ada masalah besar yang tidak bisa diselesaikan di luar kongres, bisa diselesaikan di dalam konggres. Termasuk di dalamnya perselisihan antara KN dan KB. Suka atau tidak suka seharusnya masalah ini diagendakan dalam kongres yang memberi waktu kepada KB untuk memberikan penjelasan kenapa mereka meloloskan GT-AP untuk menjadi calon ketua umum dan wakil ketua umum PSSI.

Memang benar bahwa masalah ini sudah diusulkan oleh anggota agar diberikan kesempatan kepada KB untuk menjelaskan hasil kerja mereka. Tetapi ada peserta yang menolak. Ketika itu akhirnya akan diambil voting. Tetapi yang terjadi kemudian adalah ketua KN Agum Gumelar melakukan blunder ketika memutuskan voting dilakukan tertutup, padahal dalam aturannya harus dilakukan dengan terbuka yaitu mengacungkan jari atau dengan elektronik.

Ini langsung menyulut perdebatan. Meskipun diprotes oleh beberapa peserta, Agum tampak masih bertahan dengan keputusannya untuk melakukan voting tertutup. Akhirnya protes semakin menjadi-jadi dan tidak terkendali.

Seharusnya, panitia sudah menyiapkan aturan main jika terjadi voting sesuai dengan aturan yang masih berlaku. Tampak sekali tidak ada antisipasi yang dilakukan oleh panitia sehingga tata cara voting pun tidak dipahami. Jadi memang tampak aneh, hanya tata cara voting saja sampai-sampai tidak dimengerti oleh KN.

Alasan Pelarangan George Toisutta dan Arifin Panigoro (GT-AP)

Fair play harus lah menjadi roh dari seluruh kegiatan yang menyangkut sepakbola di kolong jagad ini. Bukan hanya di lapangan tetapi juga di dalam organisasi.

Semangat ini lah yang dirasakan masih mengganjal ketika Kongres PSSI dimulai. Saya masih belum lupa ingatan. Saya masih ingat benar dengan penjelasan Agum sepulang dari markas FIFA di Zurich, Swiss. Beliau menjelaskan bahwa sudah semaksimal mungkin mempertanyakan masalah pelarangan GT-AP untuk menjadi calon Ketum dan waketum PSSI. Agum Gumelar menjelaskan bahwa AP dilarang karena terlibat dalam kompetisi yang dianggap ilegal. Sementara untuk GT, FIFA tidak bisa memberikan penjelasan yang jelas.

Di sinilah sebenarnya letak blundernya ketua KN. Seharusnya Agum sudah bisa memprediksi kalau masalah ini tidak clear akan menimbulkan persoalan besar. Seharusnya Agum mati-matian minta kepada FIFA untuk menjelaskan alasan pelarangan GT dengan argumentasi yang jelas dan benar. Kalau FIFA tetap tidak mau, seharusnya Agum Gumelar mengundurkan diri sebagai ketua KN. Bahkan seluruh anggota KN mengundurkan diri karena tindakan FIFA ini jelas melanggar HAM.

Pada saat pertemuan dengan FIFA itulah seharusnya KN mati-matian melobi FIFA. Lakukan debat dengan mereka. Tetapi apa yang dilakukan oleh Agum Gumelar. Menerima apapun keputusan FIFA. Sejak Agum menerima apapun keputusan FIFA, sebenarnya sejak itulah api Kericuhan mulai sinyalakan.

Tidak seorang pun yang berakal sehat aka bisa menerima keputusan FIFA yang arogan tersebut. Tidak ada seorang pun yang masih waras akan bisa menerima keputusan FIFA yang melanggar sendiri prinsip-prinsip yang selalu mereka dengung-dengungkan yaitu fair play. Di mana letak fairness-nya jika seseorang dilarang tanpa ada alasan yang jelas.

Apakah masih kurang jelas dengan pertanyaan GT yang sudah berulang kali dilontarkan, "apa kesalahan saya?" Pertanyaan yang amat sangat sederhana. Pertanyaan yang sangat mudah dipahami. Tetapi yang terjadi adalah pengalihan masalah, yaitu dengan balik bertanya, "apakah tidak ada calon lain selain GT?" "Apakah di antara 230 juta rakyat Indonesia hanya dia yang mampu? "

Ini dialog cara apa. Kalau dalam ungkapan jawa, orang yang demikian disebut waton suloyo. Sulit untuk mencari padanan yang pas dalam bahasa Indonesia, karena ungkapan tersebut teramat dalam artinya.

Kembali ke masalah pelarangan terhadap GT, ini sama artinya menyamakan kesalahan yang dilakukan oleh GT sama dengan Nurdin Halid. NH dilarang karena terganjal statuta FIFA yang mengatakan bahwa organisasi sepakbola anggota FIFA dilarang dipimpin oleh seorang yang pernah dihukum. Seharusnya FIFA memberikan alasan pelarangan GT yang setara dengan Statuta yang digunakan untuk melarang NH.

Bahkan ketika hal ini ditanyakan langsung kepada wakil FIFA yang hadir di kongres yaitu Thiery Reigenass, dia tetap tak mampu memberikan alasan yang bisa diterima akal sehat. Bahkan seorang penyiar salah satu stasiun TV sempat menyinggung bahwa GT dianggap akan memecah belah PSSI.

Kalau informasi ini benar, sungguh sungguh di luar akal sehat. Mana mungkin George Toisutta mencalonkan diri menjadi ketum PSSI dengan tujuan hanya untuk memecah belah PSSI. Kalau memang benar GT ingin memecah belah PSSI, saya yakin Tuhan pun yang Maha Pengampun tidak akan pernah mengampuni dosa GT. Dan saya yakin sebagai makhluk yang beragama, seorang George Toisutta tidak serendah itu.

Banyak pengamat sepakbola yang meminta GT untuk legowo, karena empat tahun lagi bisa kembali mencalonkan diri. Permintaan yang menggunakan terminologi Jawa yang terdengar menyejukkan. Tetapi orang lupa bahwa legowo bukan berarti harus bisa menerima ketika haknya diinjak-injak. Bukan itu. Terminologi legowo harus ditempatkan pada sebuah tata nilai mengalah untuk menerima sebuah alasan yang tidak perlu diumumkan ke publik setelah melalui pendekatan dan dialog personal yang sungguh-sungguh intensif dalam suasana yang sejuk. Dalam sebuah dialog yang tidak saling memaksakan kehendak.

Pertanyaannya, sudahkah ini dilakukan oleh KN atau FIFA kepada GT. Tidak pernah ada. Yang ada hanya himbauan melalui media massa. Bahkan belakangan dimunculkan adanya rumor yang mengatakan bahwa TNI melakukan pendekatan kepada beberapa pemilik suara sah untuk melakukan mosi tidak percaya. Saya sampai hari ini masih percaya bahwa Agum Gumelar bukan seorang politisi. Tetapi di saat yang sama saya menjadi heran ketika beliau mencoba mengalihkan isu seperti yang biasa dilakukan oleh para politisi.

Karena hanya mengimbau untuk legowo tanpa ada tindakan yang mencerminkan filosofi legowo tersebut, maka hasil akhirnya sama-sama bisa kita lihat di dalam Konggres PSSI yang tidak menghasilkan apa-apa. Tuduhan kepada GT yang seakan-akan ingin memecah belah PSSI atau masyarakat sepakbola di tanah air, akhirnya justru lahir dari sebuah perhelatan yang namanya Kongres PSSI yang seharusnya menjadi ajang untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang tidak bisa diselesaikan di luar kongres. Pasca kongres, masyarakat sepakbola di tanah air terbelah mejadi dua, yang mengecam k-78 dan yang memahami K-78.

Entitas Kelompok 78

Kelompok 78 atau K-78 saat ini menjadi tertuduh. Bahkan akan sekelompok pecinta sepakbola di negeri ini yang akan menuntut secara hukum K-78 jika FIFA menjatuhkan sangsi kepada PSSI. Memang setiap orang punya hak untuk menyalahkan orang lain, asal dengan argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan melalui hukum. Sebelum menjatuhkan stigma "tertuduh" pada K-78, marilah kita telusuri kembali apa yang menjadi Tuntutan Pokok dari K-78 ini.

Saya mencoba untuk menyisir banyak berita di media cetak, mendengar dialog di TV meskipun banyak yang tidak bermutu dan hanya mengedepankan emosi yang tidak terkontrol, menelusur berita di situs-situs on-line. Hasilnya adalah dua hal pokok, yaitu pertama, kenapa GT-AP dilarang? Statuta mana yang digunakan untuk melarang GT-AP, lebih khusus lagi kepada GT? Yang kedua, kenapa Komite Banding tidak diberi hak untuk menjelaskan alasan meloloskan GT-AP di dalam kongres?

Kedua pertanyaan ini harus diperlakukan sebagai sesuatu hal yang lumrah dan tidak ada kesan untuk memaksakan kehendak. Ketika kita tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut, yang terjadi adalah mengalihkan perhatian dengan balik bertanya, Apakah tidak ada calon lain yang pantas? Atau apakah di antara 230 juta rakyat Indonesia hanya GT yang pantas untuk memimpin PSSI?

Sekali lagi kembali pada hal yang dipersoalkan oleh K-78 adalah bukan masalah pantas tidaknya GT mencalonkan diri, tetapi apa yang menyebabkan GT dilarang mencalonkan diri. Banyak orang sudah kehilangan akal sehatnya ketika tidak mampu menjelaskan pertanyaan yang diajukan K-78 sehingga mereka memberikan komentar dan penilaian bahwa K-78 memaksakan kehendaknya.

Kalau kita kembali kepada esensi kongres, suka tidak suka, mau tidak mau, merekalah yang saat ini memegang hak suara sah. Kita jangan berdebat soal ini. Kita jangan meniru argumentasi yang dilontarkan oleh beberapa pengamat soal pemegang suara sah ini dengan menggugat kenapa hanya mereka yang mempunyai hak suara sah. Ini adalah pernyataan yang konyol. Kalau ingin mengubah, ya diubah saja aturan mainnya dan lakukan itu dalam kongres.

Dalam dengar pendapat dengan Menpora, KN, dan KONI ada seorang anggota DPR yang menyatakan agar mengusut dan menghukum orang yang mencoba mengganggu dan menggagalkan Kongres PSSI yang lalu. Pertanyaan kita adalah apakah kalau seorang pemegang suara sah melakukan interupsi dan bertanya sekalipun dengan nada keras adalah sebuah pelanggaran? Kalau demikian, bagaimana dengan perilaku anggota DPR yang juga melakukan hal yang sama ketika mengikuti Sidang Paripurna DPR. Apakah mereka harus ramai-ramai kita tangkap juga?

Sudah demikian banyak orang kehilangan akal sehatnya menanggapi kisruhnya Konggres PSSI. Sudah sedemikan banyak yang lepas konteks dan tidak mau melihat bahwa ini semua adalah puncak dari sengketa yang seharusnya diselesaikan oleh KN sebelum kongres berlangsung kalau ingin agar kongres berjalan dengan baik. Bahkan sangat terang benderang KN tidak peduli dengan adanya sengketa ini. Berapa kali Agum Gumelar sebagai Ketua KN melontarkan tantangan: Kalau tidak puas dengan keputusan FIFA silahkan gugat FIFA, meskipun Agum sendiri bisa memprediksi bahwa untuk melakukan gugatan sampai mendapatkan keputusan, waktu yang ada tidak mungkin cukup.


* Penulis adalah mantan pemain sepakbola di tingkat sekolah, peminat masalah sepakbola. Artikel ini adalah opini pribadi, tidak mencerminkan sikap/opini redaksi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar